MEMBERI
Alkisah,ditengah padang pasir Amargossa
California ada sebuah gubuk tua yang rapuh. Tidak jauh dari situ ada sumur tua.
Setiap pejalan kaki singgah untuk mengambil air di dalamnya. Tidak ada timba, tetapi
ada pompa air yang sering mengering bila tidak dipakai. Pada pompa itu menempel
pesan: ”Ambil botol air yang aku simpan dibawah batu putih. Curahkan air
kedalam pompa sebagai pemancing. Nanti air akan terbersit keluar. Ambillah air
secukupnya, kemudian isi kembali botol
air itu. Simpan botol air ditempat semula”. Dengan cara itu, sumur itu telah
mengalirkan air hampir seabad.
Give in order to get. Memberi namun pada
hakikatnya menerima. Itulah inti cerita diatas. Air yang banyak akan keluar
dari pompa setelah air dicurahkan kedalam pompa. Kita menerima setelah memberi.
Semakin banyak yang kita berikan semakin melimpah yang kita terima. Sesuatu
yang kita dapat bukan bukan saja dalam bentuk materi melainkan juga dalam
hal-hal yang sifatnya abstrak dan trasendental. Kebahagiaan, kenikmatan, psikologis, ketenangan.
Namun terkadang ada manusia yang tidak
menyadari hakikat meberi ini. Mereka mempunyai kegemaran mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya. Dia selalu menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang
mubajir. Dia membangun banyak rumah yang tidak semuanya ditinggali. Dia juga
mempunyai mobil lebih dari yang diperlukannya. Didalam rumahnya ada kolam
renang, perabotan mewah, hingga perhiasan-perhiasan mahal. Seluruh harta itu
miliknya. I am what Ihave. Saya adalah apa yang saya miliki. Kesenangannya ada
dalam kepemilikan harta bukan karena keperluan terhadap barang-barang itu. Kebahagiaan
di ukur dari banyaknya harta yang ia miliki. Jika harta itu hilang maka hilang
pula kebahagiaannya. Dalam psikologi perkembangan, Sigmund Freud, tokoh
psikoanalisa, menyebut tiga perkembangan kepribadian anak. Tahap awal disebut
fase oral, ditandai dengan kenikmatan yang didapat sang anak dengan memasukkan
segala sesuatu kedalam mulutnya. Seiring bertambahnya umur, anak merasakan kenikmatan ketika mengeluarkan
sesuatu dari dalam anusnya dan melihat tupukan kotoran itu. Tahap ini dinamakan
fase anal. Pada umur 5-7 tahun anak memasuki fase phalis yaitu ketika anak
mendapatkan kenikmatan waktu memegang alat kelaminnya.
Karakter orang yang senang mengumpulkan
harta tanpa kesediaan memberi berarti mengalami hambatan perkembangan
kepribadian (fiksasi) dimasa kanak-kanaknya. Dia mengalami hambatan dimasa
anal, yaitu ketika anak merasakan kenikmatan pada waktu mengeluarkan kotoran
dan melihat tumpukan kotorannya. Jadi orang seperti ini dianggap mengalami
neurosis akibat perkembangan kepribadian yang terhambat. Untuk menyembuhkannya
dia harus diarahkan untuk menemukan kembali eksistensi dirinya.
Dalam hidup ini meminjam istilah Erich
Fromm, kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu pilihan kembali kepada eksistensi
pra-manusiawi (kerakusan bak binatang) atau mengembangkan diri hingga mencapai
eksistensi diri yang lebih manusiawi. Jika kita memilih hidup kembali pada
eksistensi pra-manusiawi (ketamakan) akan menyebabkan kita mengalami kemunduran
mental-psikologis. Kita akan mempunyai sifat tamak, rakus, senang mengumpulkan
harta tanpa kesediaan memberi. Di satu sisi, jika memilih mencapai eksistensi
diri yang lebih manusiawi berarti kita menyempurnakan kemanusiaan.
Menjadi manusia berarti menjalin
hubungan dengan sesama dan dunia. Berarti pula memiliki kesediaan untuk memberi
kepada sesama manusia. Memberi pada hakikatnya melepaskan sesuatu akan hak atas
kita tanpa pernah berharap kembali atau balasan dari pemberian kita itu
untuk menemukan dan berjalan menuju eksistensi diri
yang lebih manusiawi.
Disadur
dari: Majalah YMMA