Sabtu, 19 Januari 2013

MEMBERI


MEMBERI


        Alkisah,ditengah padang pasir Amargossa California ada sebuah gubuk tua yang rapuh. Tidak jauh dari situ ada sumur tua. Setiap pejalan kaki singgah untuk mengambil air di dalamnya. Tidak ada timba, tetapi ada pompa air yang sering mengering bila tidak dipakai. Pada pompa itu menempel pesan: ”Ambil botol air yang aku simpan dibawah batu putih. Curahkan air kedalam pompa sebagai pemancing. Nanti air akan terbersit keluar. Ambillah air secukupnya, kemudian isi  kembali botol air itu. Simpan botol air ditempat semula”. Dengan cara itu, sumur itu telah mengalirkan air hampir seabad.
       Give in order to get. Memberi namun pada hakikatnya menerima. Itulah inti cerita diatas. Air yang banyak akan keluar dari pompa setelah air dicurahkan kedalam pompa. Kita menerima setelah memberi. Semakin banyak yang kita berikan semakin melimpah yang kita terima. Sesuatu yang kita dapat bukan bukan saja dalam bentuk materi melainkan juga dalam hal-hal yang sifatnya abstrak dan trasendental. Kebahagiaan, kenikmatan,  psikologis, ketenangan.
        Namun terkadang ada manusia yang tidak menyadari hakikat meberi ini. Mereka mempunyai kegemaran mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Dia selalu menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang mubajir. Dia membangun banyak rumah yang tidak semuanya ditinggali. Dia juga mempunyai mobil lebih dari yang diperlukannya. Didalam rumahnya ada kolam renang, perabotan mewah, hingga perhiasan-perhiasan mahal. Seluruh harta itu miliknya. I am what Ihave. Saya adalah apa yang saya miliki. Kesenangannya ada dalam kepemilikan harta bukan karena keperluan terhadap barang-barang itu. Kebahagiaan di ukur dari banyaknya harta yang ia miliki. Jika harta itu hilang maka hilang pula kebahagiaannya. Dalam psikologi perkembangan, Sigmund Freud, tokoh psikoanalisa, menyebut tiga perkembangan kepribadian anak. Tahap awal disebut fase oral, ditandai dengan kenikmatan yang didapat sang anak dengan memasukkan segala sesuatu kedalam mulutnya. Seiring bertambahnya umur,  anak merasakan kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari dalam anusnya dan melihat tupukan kotoran itu. Tahap ini dinamakan fase anal. Pada umur 5-7 tahun anak memasuki fase phalis yaitu ketika anak mendapatkan kenikmatan waktu memegang alat kelaminnya.
       Karakter orang yang senang mengumpulkan harta tanpa kesediaan memberi berarti mengalami hambatan perkembangan kepribadian (fiksasi) dimasa kanak-kanaknya. Dia mengalami hambatan dimasa anal, yaitu ketika anak merasakan kenikmatan pada waktu mengeluarkan kotoran dan melihat tumpukan kotorannya. Jadi orang seperti ini dianggap mengalami neurosis akibat perkembangan kepribadian yang terhambat. Untuk menyembuhkannya dia harus diarahkan untuk menemukan kembali eksistensi dirinya.  
      Dalam hidup ini meminjam istilah Erich Fromm, kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu pilihan kembali kepada eksistensi pra-manusiawi (kerakusan bak binatang) atau mengembangkan diri hingga mencapai eksistensi diri yang lebih manusiawi. Jika kita memilih hidup kembali pada eksistensi pra-manusiawi (ketamakan) akan menyebabkan kita mengalami kemunduran mental-psikologis. Kita akan mempunyai sifat tamak, rakus, senang mengumpulkan harta tanpa kesediaan memberi. Di satu sisi, jika memilih mencapai eksistensi diri yang lebih manusiawi berarti kita menyempurnakan kemanusiaan.
       Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dunia. Berarti pula memiliki kesediaan untuk memberi kepada sesama manusia. Memberi pada hakikatnya melepaskan sesuatu akan hak atas kita tanpa pernah berharap kembali atau balasan dari pemberian kita itu untuk   menemukan dan berjalan menuju eksistensi diri yang lebih manusiawi.


                                                                                                Disadur dari: Majalah YMMA